Penyebab Rabies
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosa yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Rabies telah menyebar ke wilayah-wilayah yang semula merupakan wilayah bebas rabies seperti Pulau Bali. Mengingat dampak rabies terhadap kesehatan dan kondisi psikologis masyarakat cukup besar serta memiliki dampak terhadap perekonomian khususnya bagi daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular rabies, maka upaya pengendalian penyakit perlu dilaksanakan se-intensif mungkin untuk mewujudkan Indonesia Bebas Rabies. Program bebas rabies merupakan kesepakatan global, regional dan nasional. Berdasarkan data, tercatat kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) sepanjang tahun 2023 sebanyak 19.035 kasus. Sebanyak 300 orang dinyatakan posistif atau terinfeksi Rabies dan 4 orang diantaranya meninggal. Di tahun sebelumnya (tahun 2022) jumlah kasus GHPR mencapai 39 ribu dengan 690 kasus positif dan 22 kasus meninggal. Hal ini menunjukkan kasus Rabies masih sangat perlu mendapat perhatian bagi masyarakat Bali.
Rabies disebut juga penyakit anjing gila adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik yaitu penyakit dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular rabies.Penyakit ini telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan merupakan penyakit yang menakutkan bagi manusia karena penyakit ini selalu diakhiri dengan kematian. Penyakit ini menyebabkan penderita tersiksa oleh rasa haus namun sekaligus merasa takut terhadap air (hydrophobia). Rabies bersifat fatal baik pada hewan maupun manusia, hampir seluruh pasien yang menunjukkan gejala–gejala klinis rabies (encephalomyelitis) akan diakhiri dengan kematian. Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk menyembuhkan rabies namun penyakit ini dapat dicegah melalui penanganan kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) sedini mungkin.
Rabies tersebar hampir di semua benua kecuali benua Antartika, lebih dari 150 negara telah terjangkit penyakit ini. Setiap tahun lebih dari 55.000 orang meninggal akibat rabies dan lebih dari 15 juta orang di seluruh dunia mendapatkan pengobatan profilaksis vaksin anti rabies untuk mencegah berkembangnya penyakit ini. Sejumlah 40% dari seluruh orang-orang yang digigit hewan tersangka rabies merupakan anak dibawah usia 15 tahun. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Pening tahun 1889 pada seekor anjing dan oleh Eileris de Zhaan tahun 1894 pada manusia. Agen penyebab rabies adalah virus dari genus lyssa virus dan termasuk ke dalam family Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotropic, berbentuk menyerupai peluru dengan panjang 130 – 300 nm dan diameter 70 nm. Virus ini terdiri dari inti RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal diselubungi lipoprotein. Pada selubung luar terdapat tonjolan yang terdiri dari likoprotein G yang berperan penting dalam timbulnya imunitas oleh induksi vaksin dan penting dalam identifikasi serologi dari virus rabies. Virus rabies dapat bertahan pada pemanasan dalam beberapa waktu lama. Pada pemanasan suhu 560 C, virus dapat bertahan selama 30 menit dan pada pemanasan kering mencapai suhu 1000 C masih dapat bertahan selama 2-3 menit. Di dalam air liur dengan suhu udara panas dapat bertahan selama 24 jam. Dalam keadaan kering beku dengan penyimpanan pada suhu 4 0 C virus dapat bertahan selama bertahun-tahun, hal inilah yang menjadi dasar kenapa vaksin anti rabies harus disimpan pada suhu 20 – 80 C. Pada dasarnya semakin rendah suhunya semakin lama virus dapat bertahan. Virus rabies mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet, pengaruh keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak, misalnya ether dan kloroform, Na deoksikolat, dan air sabun. Oleh karena itu sangat penting melakukan pencucian luka dengan menggunakan sabun sesegera mungkin setelah gigitan untuk membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan.
Penularan Rabies
Cara penularan rabies melalui gigitan dan non gigitan (goresan cakaran atau jilatan pada kulit terbuka/mukosa) oleh hewan yang terinfeksi virus rabies. Virus rabies akan masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terbuka atau mukosa namun tidak dapat masuk melalui kulit yang utuh. Di dunia sebanyak 99% kematian akibat rabies disebabkan oleh gigitan anjing. Di sebagian besar negara berkembang, anjing merupakan reservoir utama bagi rabies sedangkan hewan liar yang menjadi reservoir utama rabies adalah rubah, musang, dan anjing liar. Di Indonesia, hewan yang dapat menjadi sumber penularan rabies atau GHPR pada manusia adalah anjing, kucing dan kera namun yang menjadi sumber penularan utama adalah anjing, sekitar 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan anjing.
Masa inkubasi penyakit rabies sangat bervariasi yaitu antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3 – 8 minggu. Menurut WHO (2007) disebutkan bahwa masa inkubasinya rata-rata 30 – 90 hari. Perbedaan masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
- Jenis/strain virus rabies.
- Jumlah virus yang masuk.
- Kedalaman luka gigitan, semakin dalam luka gigitan kemungkinan virus rabies mencapai sistem saraf semakin besar.
- Lokasi luka gigitan, semakin dekat jarak luka gigitan ke otak, maka gejala klinis akan lebih cepat muncul. Oleh karena itu luka gigitan di daerah bahu ke atas merupakan luka risiko tinggi.
- Banyaknya persarafan di wilayah luka.
- Imunitas dari penderita.
Gejala klinis rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf pusat dan menginfeksi seluruh neuron terutama di sel-sel limbik, hipotalamus dan batang otak. Virus rabies bersifat neurotrofik, yang berarti predileksinya pada sistem saraf. Virus ini berjalan melalui sistem saraf, sehingga tidak terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa mendiagnosis dini sebelum muncul gejala klinis rabies.Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan/cakaran, virus akan menetap selama 2 minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar luka gigitan. Kemudian virus akan berjalan menuju susunan saraf pusat melalui saraf perifer tanpa ada gejala klinis. Setelah mencapai otak, virus akan melakukan replikasi secara cepat dan menyebar luas ke seluruh sel-sel saraf otak/neuron terutama sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron- neuron otak, virus berjalan ke arah perifer melalui serabut saraf eferen baik sistem saraf volunteer maupun tonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh, dan virus akan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah,ginjal dan sebagainya.
Gejala Klinis Rabies
1. Pada manusia
a. Tahap Prodromal
Pada tahap awal gejala yang timbul adalah demam, lemas, lesu, tidak nafsu makan/ anorexia, insomnia, sakit kepala hebat, sakit tenggorokan dan sering ditemukan nyeri.
b. Tahap Sensoris
Pada tahap ini sering ditemukan rasa kesemutan atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih terhadap rangsang sensorik
c. Eksitasi
Pada tahap ini penderita mengalami berbagai macam gangguan neurologik, penderita tampak bingung, gelisah, mengalami halusinasi, tampak ketakutan disertai perubahan perilaku menjadi agresif, serta adanya bermacam-macam fobia yaitu hidrofobia, aerofobia, fotofobia. Hidrofobia merupakan gejala khas penyakit rabies karena tidak ditemukan pada penderita penyakit enchepalitis lainnya. Gejala lainnya yaitu spasme otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi,hiperhidrosis dan dilatasi pupil. Setelah beberapa hari pasien meninggal karena henti jantung dan pernafasan. Dari seluruh penderita rabies sebanyak 80% akan mengalami tahap eksitasi dan lamanya sakit untuk tahap ini adalah 7 hari dengan rata-rata 5 hari.
d. Tahap Paralisis
Bentuk lainnya adalah rabies paralitik, bentuk ini mencapai 30 % dari seluruh kasus rabies dan masa sakit lebih lama dibandingkan dengan bentuk furios. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot secara bertahap dimulai dari bagian bekas luka gigitan/cakaran. Penurunan kesadaran berkembang perlahan dan akhirnya mati karena paralitik otot pernafasan dan jantung. Pada pasien dengan gejala paralitik ini sering terjadi salah diagnosa dan tidak terlaporkan. Lamanya sakit untuk rabies tipe paralitik adalah 13 hari, lebih lama bila dibandingkan dengan tipe furious.
2. Pada Hewan (Anjing)
Gejala klinis pada anjing sesuai dengan manifestasinya dibagi dalam 3 tahap yaitu tahap prodromal, tahap eksitasi, dan tahap paralitik.
a. Tahap Prodromal
Tahap ini merupakan tahap awal dari gejala klinis yang berlangsung selama 2 – 3 hari. Terdapat perubahan perilaku hewan yaitu hewan tidak mengenal tuannya, sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya. Mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks kornea menurun terhadap rangsangan.
b. Tahap Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung selama 3 – 7 hari, mulai mengalami fotofobi sehingga hewan akan bersembunyi di kolong tempat tidur, dibawah meja atau kursi.
Anjing terlihat gelisah, adanya gerakan halusinasi dimana anjing bersikap seolah– olah akan mencaplok serangga yang terbang di udara. Sering mengunyah benda di sekitarnya seperti lidi, kawat, kerikil, jeruji kandang, dan benda lainnya yang tidak sewajarnya atau yang dikenal dengan istilah pika. Bila dikandangkan anjing akan berjalan mondar-mandir sambil menggeram. Perilaku anjing akan berkembang semakin sensitif, beringas dan akan menyerang semua obyek yang bergerak. Seringkali mulutnya berdarah akibat giginya tanggal atau akibat mengunyah benda keras dan tajam.
Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot laring dan faring yang menyebabkan perubahan suara menyalak anjing, suaranya akan berubah menjadi parau. Juga terjadi kekejangan otot menelan sehingga akan terjadi hipersalivasi, frekuensi nafas berubah cepat, air liur berbuih kadang disertai darah dari luka di gusi atau mulutnya.
c. Tahap Paralisis
Tahap ini berlangsung sangat singkat sehingga gejalanya tidak diketahui, terjadi kelumpuhan otot pengunyah sehingga rahang tampak menggantung. Suaranya sering seperti tersedak akibat kelumpuhan otot tenggorokan. Terjadi paralisis kaki belakang sehingga saat jalan kaki belakang diseret.
Dikenal terdapat 2 tipe rabies pada hewan GHPR yaitu:
a. Tipe Ganas
Tipe ganas apabila didominasi tahap eksitasi dimana anjing akan terlihat beringas serta akan menyerang semua benda yang bergerak.
b. Tipe Dumb (Tenang)
Tipe tenang apabila hewan yang terinfeksi rabies setelah gejala prodormal langsung masuk ke tahap paralisis.
Pencegahan Rabies Pada Manusia
Pencegahan penularan rabies pada manusia adalah dengan memberikan tatalaksana luka Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), sebagai berikut:
a. Pencucian luka
Pencucian luka dengan menggunakan sabun merupakan hal yang sangat penting dan harus segera dilakukan setelah terjadi pajanan (jilatan, cakaran atau gigitan) terhadap GHPR untuk membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan. Seperti telah dipaparkan dalam sifat virus rabies dimana virus dapat diinaktivasi dengan sabun karena selubung luar yang terdiri dari lipid akan larut oleh sabun. Pencucian luka dilakukan sesegera mungkin dengan sabun dibawah air mengalir selama kurang lebih 15 menit. Pencucian luka tidak menggunakan peralatan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan luka baru dimana virus akan semakin masuk ke dalam.
Pencucian luka dapat dilakukan oleh penderita atau keluarga penderita kemudian diberikan antiseptic. Setelah itu penderita luka GHPR segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit yang menjadi Rabies Center untuk mendapatkan tatalaksana selanjutnya.
b. Pemberian Antiseptik
Setelah dilakukan pencucian luka sebaiknya diberikan antiseptik untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa di sekitar luka gigitan. Antiseptik yang dapat diberikan diantaranya povidon iodine, alkohol 70%, dan zat antiseptik lainnya.
c. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) Dan Serum Anti Rabies (SAR)
Tujuan pemberian vaksin anti rabies adalah untuk membangkitkan sistem imunitas dalam tubuh terhadap virus rabies dan diharapkan antibodi yang terbentuk akan menetralisasi virus rabies. Namun bila virus rabies telah mencapai susunan saraf pusat pemberian vaksin anti rabies ini tidak akan memberikan manfaat lagi. Pemberian vaksin anti rabies dan serum anti rabies perlu dipertimbangkan kondisi hewan pada saat pajanan terjadi, hasil observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium spesimen otak hewan, serta kondisi luka yang ditimbulkan.
Dengan kita mengetahui gejala, penyebab, dan tindakan pencegahan dapat membantu melindungi diri sendiri dan hewan peliharaan dari ancaman rabies. Penting untuk melakukan vaksinasi hewan peliharaan Anda dan menghindari kontak langsung dengan hewan liar yang berpotensi terinfeksi. Dengan langkah-langkah pencegahan yang tepat, kita dapat mengurangi risiko terkena rabies dan menjaga kesehatan kita dan hewan peliharaan tetap aman (Ni Kadek Widiastuti, SKM,MPH, diolah dari berbagai sumber)