Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali adalah dengan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya pada masyarakat yang menjadi korban penyalahgunaan Napza. Untuk mewujudkan hal tersebut Dinkes Bali mengadakan Pelatihan Skrining Penyalahgunaan Napza Dengan Instrumen Assist (Alcohol, Smoking and Substances Invovement Screening Test) yang bertempat di UPTD Bapelkesmas Dinas Kesehatan Provinis Bali, 17 Juni 2019 diikuti oleh seluruh lintas sektor terkait dan Dinas Kesehatan se-Bali.
Kadiskes Bali dr. Ketut Suarjaya, MPPM yang membuka pelatihan tersebut berharap perlunya kerjasama antara pemerintah, lintas sektor dan LSM untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam penanganan korban Napza dan dengan pelatihan ini menjadikan tenaga kesehatan siap dalam melakukan skrining, melakukan pendekatan dan memberikan motivasi terhadap penyalahgunaan Napza untuk berperilaku hidup sehat.
Untuk diketahui masalah penyalahgunaan Napza merupakan masalah global yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek bio-psiko-sosial dan mengakibatkan berbagai faktor resiko lainnya yang berdampak kematian. Di Indonesia penyalahgunaan Napza telah sangat meluas termasuk di Pulau Bali yang kita cintai ini. Penyalahgunaan tidak hanya di Kota saja bahkan telah merambah di pedesaan dan terjadi pada berbagai strata masyarakat. Permasalah ini didukung oleh letak geografis Indonesia yang strategis dalam jalur perdagangan dunia, sehingga memudahkan masuknya Narkoba secara ilegal ke Indonesia.
Penyalahgunaan Napza di Indonesia temasuk di Bali tidak pernah mereda termasuk jenis zat yang digunakan menunjukkan perbedaan dari waktu ke waktu. Masalah penyalahgunaan Napza berkembang mengikuti tren yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya ketersediaan zat, kebutuhan dan faktor penegakkan hukum.
WHO menyebutkan setidaknya terdapat 450 ribu orang yang meninggal akibat penyalahgunaan Napza di seluruh dunia dan 30-50 Jiwa melayang setiap hari di Indonesia. BNN menyebutkan terdapat 1,77% (sekitar 3,3 Juta Jiwa) penduduk Indonesia usia 10-59 tahun pemakai Narkoba. Bahkan Bali termasuk dalam wilayah dengan peringkat ke 8 paling rawan pengguna Napza yaitu sebesar 2.22%. (BNN 2015)
Undang nomor 35 tahun 2009 secara eksplisit menyebutkan permasalahan stigma negatif atau pandangan negatif masyarakat terhadap pengguna narkoba, mereka dianggap sebagai penjahat, bahkan apabila kambuh kembali mereka dianggap sebagai residivis, mereka dikucilkan oleh lingkungannya bahkan keluarganya sendiri. Mereka seharusnya diselamatkan dan dibimbing agar pulih dan mempunyai masa depan yang lebih baik serta dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Indonesia terus membangun diri, kita tengah melaksanakan transformasi besar untuk jangka waktu 20 sampai 50 tahun mendatang, dan kita sepakat pada tahun 2030 ingin menjadi emerging economy . Kita ingin Indonesia tahun 2045, seratus tahun setelah merdeka menjadi negara yang ekonominya semakin kuat dan berkeadilan, demokrasinya semakin matang dan stabil, peradaban kehidupan masyarakatnya semakin maju dan unggul. Bangsa indonesia akan mengalami demographic deviden , dimana penduduk indonesia yang tergolong berusia produktif sangat besar. Apabila generasi yang berusia produktif ini sehat secara jasmani dan rohani, cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan terbebas dari penyalahgunaan narkoba.
Penanganan korban Napza masih rendah yang disebabkan oleh karena Lembaga Rehabilitasi yang masih terbatas, adanya rasa malu dan takut dari pecandu, adanya malu dari pihak keluarga karena masih mengganggap aib dan adanya stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Agar penanganan pecandu Napza berjalan dengan baik, diharapkan tenaga kesehatan dapat memberi pemahaman dan persepsi kepada masyarakat serta dapat menyadarkan masyarakat untuk dapat menjauhkan diri dari narkoba.