“Pengendalian Dampak Tembakau atau rokok, telah dilakukan di Pemerintah Provinsi Bali sejak lama. Sampai dengan September 2024, pemantauan implementasi KTR menunjukkan peringkat tertinggi di Bali oleh Kota Denpasar (peringkat ke-7) dan Kabupaten Bangli peringkat terendah ke-23 dari 516 kabupaten/kota se-Indonesia. Tantangannya pada kesinambungan pemantauan, penegakannya serta jumlah dan frekuensi implementasi KTR,”kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali Dr dr I Nyoman Gede Anom, M. Kes saat membuka acara Rapat Monitoring Dan Evaluasi Pengendalian Dampak Tembakau” , hari ini Selasa, 15 Oktober 2024, di UPTD Bepelkesmas Provinsi Bali.
Dr dr I Nyoman Gede Anom mengatakan bahwa Merokok (konvensional dan elektrik) merupakan aktivitas penting bagi seseorang yang sudah kecanduan rokok, namun menjadi aktivitas yang kurang disukai dan berdampak pada banyak orang. Aspek yang paling jelas dan paling signifikan terdampak dari merokok adalah kesehatan.
“Merokok telah terbukti menjadi salah satu penyebab utama berbagai masalah kesehatan, terutama menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan peningkatan tekanan darah sehingga berpotensi menjadi penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk stroke,”katanya.
Asap rokok jelas Dr dr I Nyoman Gede Anom, menyebabkan berbagai masalah gangguan pernapasan, gangguan pada sistem pencernaan, gangguan pada sistem kekebalan tubuh, dan kerusakan pada gigi dan gusi. Bahkan pada sebagian orang dapat menyebabkan kelainan janin pada anak yang dikandung dan impotensi.
“Merokok juga faktor risiko utama untuk berbagai jenis kanker, karena zat-zat kimia yang terdapat pada asap rokok dapat merusak DNA dalam sel-sel tubuh makhluk hidup,”paparnya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali ini juga menegaskan, merokok juga dapat merugikan secara sosial, karena tidak semua orang tahan dengan asap rokok. Paparan terhadap perilaku merokok dalam lingkungan sosial dapat mempengaruhi anak-anak dan remaja untuk mencoba merokok.
“Kebiasaan merokok yang dilakukan orang dewasa sangat mempengaruhi persepsi anak dan remaja tentang merokok dan meningkatkan kemungkinan mereka untuk mulai merokok pada usia yang sangat muda. Dampak rokok tidak hanya pada perokok tapi juga pada perokok pasif bahkan sekarang dikenal juga perokok tangan ketiga, yaitu mereka yang berada di ruangan yang pernah dipakai untuk aktivitas merokok atau menghirup partikel asap rokok di pakaian atau benda lain,”jelasnya.
Dr dr I Nyoman Gede Anom juga menjelaskan bahwa biaya merokok dapat menjadi beban yang cukup besar, terutama jika dihitung dalam jangka panjang. Pembelian rokok adalah pengeluaran langsung yang dapat menyebabkan beban finansial bagi perokok dan keluarganya.
“Banyak rumah tangga pengeluaran untuk rokok menjadi nomor 2 setelah beras atau makanan pokok. Pengeluaran untuk rokok hampir 10 kali lipat dibandingkan susu dan makanan bergizi untuk anaknya. Biaya kesehatan yang tinggi terkait dengan dampak asap rokok sangat mempengaruhi masyarakat, serta meningkatkan beban ekonomi keluarga perokok dan masyarakat secara keseluruhan,”katanya.
Dr dr I Nyoman Gede Anom juga menceritakan bahwa perokok cenderung memiliki produktivitas kerja kurang baik, karena perokok lebih sering mengambil istirahat untuk merokok selama jam kerja dan tingkat absensi yang lebih tinggi di tempat kerja karena masalah kesehatan yang terkait dengan perilaku merokok. Industri rokok mungkin dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi suatu negara, tetapi kerugian secara ekonomi bagi industri lain yang terkait dengan dampak merokok juga dapat terjadi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
“Secara psikologis, merokok juga menyebabkan ketergantungan. Orang yang kecanduan rokok akan merasa sulit untuk berhenti merokok, meskipun mereka menyadari risiko kesehatan yang terkait dengannya. Disamping itu, perokok akan mengalami koping maladaktif atau koping mekanisme, dimana sering dipakai mengatasi stres, kecemasan, atau tekanan emosional lainnya. Namun, hal tersebut merupakan solusi sementara yang tidak efektif dan dapat merugikan kesejahteraan psikologis dalam jangka panjang. Orang yang merokok mungkin akan mengalami rasa bersalah atau malu karena kebiasaan mereka, terutama jika mereka menyadari dampak negatifnya terhadap kesehatan mereka atau lingkungan sekitar. Perasaan ini dapat menyebabkan penurunan harga diri dan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan,”ungkapnya.
KepalabDinas Kesehatan Provinsi Bali inipun menegaskan, Layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM) merupakan upaya menghilangkan ketergantungan terhadap rokok pada perokok aktif. Sayangnya kunjungan ke layanan ini masih sangat rendah demikian juga dengan keberhasilannya.
“Perokok pemula (remaja usia 10-18 tahun) cukup tinggi, survei prilaku rokok remaja saat ini masih dilakukan oleh puskesmas. Sampai dengan September 2024, baru 13,9% yang telah disurvei dari target 70% dengan hasil yang berprilaku merokok sekitar 2,3%,” urainya. ***Humas Dinas Kesehatan Provinsi Bali.